Selasa, 03 Desember 2013

Kerajaan Kadiri



KERAJAAN KADIRI




Makalah
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Indonesia Kuno
yang dibina oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum







Oleh
David Kristianto                                                               (130731615716)
Mochamad Hanafi                                                            (130731607275)
Rodhiyatul Dewi Faziah                                                   (130731616751)
Siska Ferina Susianti                                                         (130731607274)




















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
September 2013


DAFTAR ISI

Daftar Isi       
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang.......................................................................................................... 01
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................... 02
C.     Tujuan....................................................................................................................... 02

Bab II Pembahasan
A.    Awal Mula Berdirinya Kadiri................................................................................... 03
B.     Perkembangan Kerajaan Kadiri................................................................................ 05
C.     Runtuhnya Kerajaan Kadiri...................................................................................... 19
D.    Bangkitnya Kerajaan Kediri oleh Keturunannya...................................................... 20
E.     Masa Akhir Kerajaan Kadiri di Nusantara............................................................... 21

Bab III Penutup
A.    Kesimpulan............................................................................................................... 23
B.     Saran......................................................................................................................... 23










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui, Hindu-Budha masuk ke Indonesia seiring dengan pemindahan kekuasaan kerajaan Mataram Kuno oleh Pu Sindok dan pendirian Dinasti Isana. Berawal dari Pu Sindok maka berlanjutlah pemerintahan kepada raja-raja setelahnya hingga sampai pada raja terakhir kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur yaitu raja Airlangga. Pada akhir pemerintahan Airlangga terjadilah suatu masalah mengenai pergantian kekuasaan karena Putri Mahkota yaitu Sanggramawijaya menolak menjadi raja dan lebih memilih menjadi pertapa. Timbulah konflik diantara keturunannya mengenai siapa yang berhak meneruskan tahta dari Airlangga, untuk menghindari peperangan diantara keturunannya maka Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua yaitu, Jenggala dan Kediri. Namun meskipun Airlangga telah membagi kerajaannya menjadi dua untuk dua orang keturunannya itu, tetap saja terjadi peperangan diantara mereka untuk saling menguasai.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai kerajaan Kadiri. Kerajaan Kadiri merupakan kerajaan yang besar di Indonesia sama dengan kerajaan Sriwijaya. Berita mengenai kerajaan ini juga sampai ke luar negeri. Pusat perekonomiannya terletak pada pelabuhan Hujung Galuh yang berada di Surabaya sekarang ini. Meskipun begitu kerajaan ini mengalami jatuh bangun beberapa kali dan juga sempat tidak diketahui kabar beritanya, hal ini bukan hanya disebabkan karena permusuhannya dengan kerajaan Jenggala namun juga dengan kerajaan kecil di bawah kekuasaanya yang ingin melepaskan diri.
Meskipun pada akhirnya keturunan dari raja terakhir Kadiri dapat merebut kembali tahtanya dan membangun kembali kerajaan ini, namun itu tak berlangsung lama karena balas dendam dari keturunan raja yang dikalahkannya sehingga membuat Kadiri runtuh dan menjadi kerajaan bagian dari kerajaan lain. Meskipun Kadiri merupakan kerajaan yang besar dan memiliki banyak literatur, namun masih banyak terjadi lubang-lubang dalam menganalisis sejarahnya. Ada perbedaan dari buku-buku yang memuat kerajaan ini, entah itu dikarenakan kesalahan pada pencetakan atau pada kurangnya sumber. Yang masih menjadi tanda tanya bagi sejarah kerajaan ini adalah pada awal mula terbentuknya kerajaan juga asal-usul dan silsilah raja-raja yang memerintah. Namun itu semua akan penulis coba untuk mengungkapkannya dengan menggunakan berbagai sumber buku dan literatur lainnya.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal berdirinya Kerajaan Kadiri?
2.      Bagaimana perkembangan Kerajaan Kadiri?
3.      Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Kadiri?
4.      Bagaimana kronologi kebangkitan kerajaan Kadiri oleh keturunannya?
5.      Bagaimana akhir dari masa kerajaan Kadiri di Nusantara?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui awal berdirinya Kerajaan Kadiri.
2.      Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Kadiri.
3.      Untuk mengetahui penyebab runtuhnya Kerajaan Kadiri.
4.      Untuk mengetahui bagaimana bangkitnya kerajaan Kadiri yang diteruskan oleh keturunannya.
5.      Untuk mengetahui berakhirnya kerajaan Kadiri sebagai kerajaan besar di Nusantara



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Awal Mula Berdirinya Kerajaan Kediri
Pada akhir kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur yang pada  saat itu di perintah oleh Raja Airlangga terjdi masalah pergantian kekuasaan  yang memaksa Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, seperti yang dapat dibaca dari pelbagai sumber. Mengenai bukti pembagian kekuasaan menjadi dua, Soejono (2010:279) menyatakan “sumber pertama yang menyebut pembagian kerajaan itu ialah prasasti pada lapik arca Budha Aksobhya yang terkenal dengan nama arca Joko Dolog, atau prasasti Wurara, tahun 1211 Saka (21 November 1289 M)”.
Pada Parasasti Wurara yang terletak di pakuburan Wurara pada bagian awal prasasti ini disebutkan kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur dibagi menjadi dua kerajaan karena ada dua raja yang saling berhadapan siap untuk beperang. Kitab Negarakertagama memberi keterangan bahwa  raja Airlangga telah memerintahkan pembagian tanah Jawa karena cinta kasihnya kepada kedua orang anaknya. Peratama kerajaan tersebut dinamakan Pangjalu yang diperintah oleh raja Samarawijaya dan kerajaan kedua dinamakan Jenggala yang diperintah oleh raja Mapanji Garasakan.
Akan tetapi untuk pastinya kerajaan Panjalu dimana belum diketahui oleh siapapun, namun dalam berbagai prasasti disebutkan bahwa batas dari kedua kerajaan tersebut adalah sungai yang mengalir dari barat ke timur sampai ke laut. Mengingat prasati Airlangga banyak ditemukan di sekitar antara sungai Bengawan Solo dan Kali Brantas antara Babat dan Ploso ke timur, dan lebih condong memandang Kali lamong sebagai perbatasan kedua kerajaan tersebut. Pada prasasti Pammwwatan yang berukir kata Daha terdapat di desa Pamotan, karena perang saudara yang tak kunjung berhenti sehingga ibukota kerajaan dipindah-pindah dan akhirnya sampai di pindah di wilayah Kediri sekarang. (Soejono, 2010: 285).

Di dalam kitab Calon Arangdicertitakan bahwa kerajaan Airlangga ditimpa wabah penyakit yang menyeramkan. Banyak penduduk yang mati, kalau sakit pagi, sorenya mati, kalau sakit sore paginya mati. Wabah tersebut ditimbulkan oleh seorang janda di Girah yang merasa sikait hati di karenakan anaknya yang cantik tidak ada yang meminang. Akhirnya , raja meminta Pu Bharada yang meminta muridnya untuk melamar anak janda tersebut. Dengan tipu muslihat akhirnya janda tersebut dapat ditundukkan, dan sejak saat itu meredalah wabah yang melanda kerajaan Airlangga.
Selanjutnya Airlangga bingung karena harus membagi kerajaannya menjadi dua untuk anak-anak tercintanya agar tidak terjadi perselisihan. Hal ini diterdapat di buku Sejarah Nasional Indonesia yang tertulis bahwa:

Raja Airlangga dalam membagi kerajaannya meminta bantuan kepada Pu Bharada yang merupakan penganut agama Buddha Mahayana aliran Tantra, dan bertempat tinggal di Lembah Citra. Pu Bharada dalam melakukan pembagian tersebut dengan menggunakan air kendi yang dituangkannya dari udara. Pembagian itu ditarik dari barat sampai ke laut di bagian timur, perbatasan tersebut bagaikan samudra ketika pulau jawa memiliki dua orang raja. Pembagian tersebut diberikan kepada Samarawijaya yang merupakan anak dari Dharmmawangsa Teguh, yang mendapatkan ibukota lama yaitu Dahanapura, dengan nama kerajaan diubah  menjadi Panjalu. Sedangkan anak Airlangga (entah Sanggramawijaya atau adiknya) mendapat bagian kerajaan yang kemudian diberi nama Jenggala yang berarti hutan, dengan ibukota Kahuripan.(Soejono, 2010:279).

Seperti yang diungkapkan  oleh Soejono, bahwa menurutnya raja Samarawijaya itu adalah putra dari Dharmawangsa Teguh, namun hal itu hanyalah masih kemungkinan jika putri dari Dharmawangsa yang merupakan istri dari Airlangga meninggal. Namun hal itu masih menjadi perkiraan karena sama sekali tidak ada bukti yang menyatakan bahwa putri Dharmawangsa itu meninggal. Tetapi menurut Pitono dan Dekker (1977:66) menyatakan “Airlangga terpaksa melarikandiri ke hutan dengan diiringi oleh isteri dan pengiringnya yang setia Rakryan Norattama”. Apabila fakta tersebut benar maka kemungkinan Sri Samarawijaya adalah putra Airlangga, dan adik dari Sanggramawijaya. Hal ini juga dapat menjawab fakta mengenai jabatan Sanggramawijaya sebagai rakryan mahamantri i hino, yang kemudian jabatan tersebut digantikan oleh Samarawijaya sebelum pembagian kerajaan tersebut, padahal hanya putra tau putri mahkota saja yang berhak menduduki jabatan itu. Mengingat juga nama keduanya hampir sama, selain itu pada candi Belahan ada arca Airlangga yang diapit oleh dua wanita, kemungkinan itu adalah permaisurinya yaitu putri Dharmawangsa yang juga ibu dari Sanggramawijaya dan Samarawijaya, dan selir Airlangga yang juga ibu dari Mapanji Garasakan.
Setelah kerajaan Mataram Kuno dibagi menjadi kerajaan yang bernama Janggala dan Daha untuk menghindarkan perselisihan antara anak-anaknya, akan tetapi tetap saja terjadi perselisihan di antara kedua kerajaan tersebut. Perselisihan tersebut diawali dengan penyerangan oleh raja Janggala kepada saudaranya sendiri raja Pangjalu. Untung masih dapat dilerai.


Dari kedua kerajaan tersebut terdapat sebuah cap garudamukha. Cap ini melambangkan kerajaan Jenggala dan Pangjalu. Pemakaian cap kerajaan yang sama oleh dua orang raja memang baru sekali ini dijumpai. Yang menarik perhatian ialah bahwa disini cap garudamukha itu ditambahi keterangan jangga[la]lancana, yang berarti dari kerajaan Janggala, dan bahwa raja menyebut dirinya dijadikan anak oleh raja almmarhum (pinakawka de sri maharaja dewata). Dengan keterangan ini, mungkin sekali Mapanji Garasakan, yang memisahkan diri dari raja Pangjalu, adalah raja di Jenggala juga, yang memerintah sebelum Samarotsaha.
Setelah kerajaan dibagi Airlangga kembali masuk pertapaan. Akan tetapi tidak lama kemudian terjadi juga perang saudara itu, sebagaimana terbukti dari Praasasti Turun Hyang B, yang mungkin sekali berangka tahun 99 Saka (1044 atau 1045 M). Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa Mapanji Garasakan adalah anak Airlangga dari selirnya, yang merupakan adik tiri dari Sanggramawijaya yang mungkin merasa lebih berhak atas tahta Airlangga karena umurnya lebih tua dari Samarawijaya. Oleh karena itu, dalam masa perebutan kekuasaan, ia memakai cap Garudamukha seperti yang dipakai oleh Airlngga sendiri, seperti pula halnya raja-raja Jenggala yang lain
Mapanji Garasakan yang memperoleh kerajaan Jenggala jelas daerah kekuasaannya ada di sebelah utara, karena dua prasasti, yaitu prasasti Waluga dan prasasti Malenga terdapat di daerah Kabupaten Tuban. Mungkin karena terjadi perang saudara tak henti-henti maka ibukota Dahanapura berpindah-pindah, sampai akhirnya terletak di wilayah Kediri sekarang bahwa dahana merupakan ibukota daerah Kadiri.

B.      Perkembangan Kerajaan Kadiri
Seperti yang telah kita ketahui di atas, bahwa kerajaan Kadiri dulu merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur yang akhirnya dibagi oleh raja Airlangga menjadi dua kerajaan yaitu Jenggala dan Panjalu atau kini yang kita kenal dengan nama Kadiri karena diubah namanya pada masa pemerintahan raja Jayabaya. Penjelasan mengenai perkembangan kerajaan Kadiri dalam makalah ini pertama akan kami jelaskan mengenai sumber sejarah mengenai kerajaan Kadiri, setelah itu tentang pergantian kepemimpinan raja-raja di kerajaan Kadiri, dan keadaan masyarakat kerajaan pada masa pemerintahan Kadiri.
1.      Sumber Sejarah Kerajaan Kadiri
a.      Prasasti-Prasasti
Prasasti merupakan salah satu benda kuno yang sekarang ini dapat kita gunakan untuk mencari jejak sejarah. Dalam mengkaji sejarah dari kerajaan Kadiri ini membutuhkan banyak sekali prasasti karena kerajan Kadiri merupakan kerajaan besar di Jawa, sehingga untuk mengkajinya membutuhkan banyak prasasti. Prasasti yang telah ditemukan mulai dari menjelaskan tentang pembagian kerajaan oleh raja Airlangga seperti pada prasasti Wurara. Selain itu ada pula prasasti Turun Hyang B, Kambang Putih, Malenga, Banjaran, dan masih banyak prasasti lainnya. Prasaati yang telah ditemukan dan dapat dipahami isinya saat ini belum cukup untuk menjawab semua pertanyaan mengenai awal mula terbentuknya dan silsilah raja di kerajaan Kadiri. Prasasti pada masa kerajaan Kadiri (sekitar 1100-1220), prasasti Airlangga (1019-1012) dan prasasit yang ada di Jawa Timur sekitar tahun 910-947 Masehi kebanyakan ditulis dengan bentuk sistem aksara yang baru yaitu aksara Kawi Akhir (Darini, 2013:132).
b.      Berita-berita dari Cina
Berita mengenai Kadiri sedikit banyak bisa diketahui melalui berita dari Cina, mungkin karena pedagang Cina dalam pelayarannya pernah singgah di pelabuhan Hujung Galuh yang merupakan pusat perdagangan dan pelayaran kerajaan Kadiri. Sebuah kitab yang disusun oleh Chou K’u-fei yaitu kitab Ling-wai-tai-ta tahun 1178 menggambarkan mengenai tata pemerintahan dan masyarakat Kadiri yang tidak di diperoleh informasinya dari sumber lain, selain itu ada juga kitab Chu-fan-chi yang dikarang oleh Chau-ju-kua tahun 1225 yang menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang besar dan kaya yaitu kerajaan Jawa dan Sriwijaya (Soekmono, 1992:59-60). Dalam pernyataan Chau-ju-kua yang dimaksud dengan kerajaan Jawa itu mungkin saja kerajaan Kadiri, selain itu juga diceritakan bahwa wilayah kekuasaannnya dari wilayah Jawa Timur hingga ke Indonesia bagian timur.
c.       Peninggalan-Peninggalan Purbakala
Selain melalui prasasti dan berita dari Cina, berita mengenai kerajaan Kadiri dapat diketahui melalui benda peninggalan purbakala yang ditemukan. Kerajaan Kadiri meninggalkan candi dan arca-arca yang relatif sedikit, tidak seperti kerajaan Mataram Kuno yang mempunyai banyak peninggalan. Peninggalan itu pun juga ditemukan belum lama karena lahar gunung Kelud telah menutupi peninggalan itu selama ratusan tahun. Pertama peninggalan yang diketemukan adalah Candi Gurah,  tahun 1957 secara tidak sengaja oleh penduduk setempat. Petirtaan atau pemandian suci Kepung yang kemudian ditemukan tahun 1983. Kemudian tahun 2007 ditemukan lagi peninggalan dari kerajaan Kadiri yaitu Candi Tondowongso yang berada di kecamatan yang sama dengan Candi Gurah, arca-arca yang dibuat dari batu bata sebagian sama dengan yang ada di Candi Gurah namun lebih banyak arca yang ada di Candi Tondongwongso (Soejono, 2010:299-301).


2.      Pergantian Raja-Raja di Kerajaan Kadiri
Seperti yang telah kita tahu dari penjelasan pada awal mula berdirinya kerajaan Kadiri, bahwa raja pertama dari kerajaan Kadiri adalah Sri Samarawijaya. Namun dalam masa perkembangannya, kerajaan Kadiri diserang oleh Jenggala tidak lama setelah Samarawijaya memerintah dan pemerintahan Kadiri Jatuh ke tangan Jenggala dengan tiga kali pergantian raja oleh Jenggala. Namun setelah itu terjadi banyak peperangan sehingga kedua kerajaan tersebut tidak diketahui kabarnya atau bisa disebut dengan masa-masa gelap kerajaan Kadiri, kemudian setelah masa-masa itu kerajaan Kadiri dapat berdiri lagi, tetapi tetap saja masih terjadi permusuhan dan peperangan antara Jenggala dan Kadiri.
 Namun kedua kerajaan tersebut dapat dipersatukan oleh seorang raja besar yang pada akhirnya membawa Kadiri kedalam puncak kejayaan selain itu ikatan persaudaraan Kadiri dan Jenggala bertambah erat ketika raja berikutnya menikah dengan seorang putri Jenggala. Hingga pada akhirnya sampai pada raja terakhir dalam masa Kadiri ini yang kemudian Kadiri menjadi daerah bawahan Singhasari. Berikut ini adalah nama-nama raja beserta keterangannya yang pernah memerintah Kadiri sebelum Kadiri runtuh dan menjadi daerah bawahan Singhasari.
a)      Sri Samarawijaya (1042 M)
Seperti yang telah dijelaskan pada awal, asal-usul atau silsilah tentang Sri Samarawijaya dalam keturunan dinasti Isana memang belum dapat diketahui kebenarannya. Apalagi pada masa pemerintahannya raja Samarawijaya tidak mengeluarkan satu buah prasasti pun. Namun Sri Samarawijaya atau Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa ini adalah raja pertama dari kerajaan Kadiri yang memerintah tahun 1042 M yaitu sejak Airlangga menjadi seorang pertapa atau membagi wilayah kerajaannya. Pemerintahan raja Samarawijaya tidak banyak diketahui dan tidak ada prasasti yang menjelaskan tentang dia, mungkin didasari karena setelah pembagian wilayah yang dilakukan oleh Airlangga itu, putranya yang menjadi raja di kerajaan Jenggala ini menyerang Kadiri dan berhasil dimenangkan oleh Jenggala sehingga membuat Kadiri dikuasai oleh Jenggala dan menjadi daerah bawahan yang dikepalai oleh samya haji. Namun tidak diketahui siapa saja samya haji yang memimpin Kadiri waktu itu, yang diketahui hanya nama raja Jenggala yang memimpin secara tidak langsung, karena Kadiri berada dibawah kekuasaan Jenggala. Raja Jenggala yang pertama memimpin adalah putra Airlangga yaitu raja Mapanji Garasakan. Tetapi menurut Dawan (2010) “Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042)”.
b)     Mapanji Garasakan
Mapanji Garasakan atau Sri Maharaja Mapanji Garasakan adalah putra Airlangga yang menjadi raja di Jenggala. Penjelasan mengenai Mapanji Garasakan hanya diketahui melalui beberapa buah prasasti. Salah satunya prasasti yang memuat nama ini adalah prasasti Turun Hyang B yang angka tahun dari prasasti ini tidak dapat dibaca.  Isi dalam prasasti Turun Hyang B ini menurut Soejono (2010:281) ialah
Prasasti Turun Hyang B in memperingati pemberian tambahan anugerah kepada penduduk Desa Turun Hyang yang sebelumnya telah mendapat anugerah dari raja Airlangga (di dalam prasasti Turun Hyang A), karena jasa-jasanya membantu raja Mapanji Garasakan di dalam peperangan pada waktu raja “memisahkan diri” dari Haji Pangjalu.

Dapat disimpulkan dari isi prasasti ini bahwa raja pertama kerajaan Jenggala adalah raja Mapanji Garasakan. Namun nama raja Mapanji Garasakan telah disebut dalam prasasti Kembang Putih yang kerangka tahunnya tidak diketahui dikarenakan bagian prasasti ini rusak, dalam prasasti ini terdapat cap kerajaan yang sama dengan yang digunakan pada masa pemerintahan raja Airlangga yaitu cap garudamukha. Selain itu ada pula prasasti yang mencantumkan nama raja Mapanji Garasakan, juga terdapat cap garudamukha dalam prasasti itu yaitu prasasti Malenga tahun 1052 M, sama seperti prasasti Turun Hyang B, prasasti ini juga untuk memperingati pemberian raja Haji Garasakan kepada penduduk Desa Malenga karena jasanya membantu raja dalam peperangan untuk mengusir raja Haji Linggajaya dari istananya di Tanjung, mungkin yang dimaksud Haji Linggajaya itu adalah samya haji dari kerajaan Kadiri.
Menurut situs (http://id.wikipedia.org/wiki/Mapanji_Garasakan) mengenai akhir kepemimpinan dari Mapanji Garasakan yaitu “prasasti Banjaran (1052) yang mengisahkan tentang putra mahkota Janggala bernama Alanjung Ahyes yang melarikan diri ke hutan Marsma, karena ibu kota Janggala, yaitu Kahuripan diserang musuh. Alanjung Ahyes kemudian berhasil merebut kembali takhta Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran”. Dari prasasti diatas, diperkirakan bahwa raja Mapanji Garasakan tewas akibat penyerangan itu, dan mungkin musuh yang dimaksud itu adalah kerajaan Kadiri karena Kadiri merupakan musuh Jenggala yang paling kuat, namun tidak diketahui pasti apakah raja Kadiri saat itu raja Samarawijaya atau bukan.
c)      Mapanji Alanjung Ahyes (1052 M)
Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam prasasti Banjaran tahun 1052 M yang menerangkan bahwa kerajaan Jenggala diserang oleh musuh sehingga membuat raja Mapanji Garasakan tewas dalam penyerangan itu, dan putranya berhasil melarikan dan diri dan pada akhirnya dapat merebut kerajaan Jenggala lagi. Nama putra dari raja Garasakan adalah raja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadhanu Sri Ajnajabharitamawakana Pasukala Nawanamaninddhita Sastrahetajnadewati. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Kadiri menjadi kerajaan bagian lagi dari kerajaan Jenggala dan berada dibawah kepemimpinannya.
Dalam masa pemerintahannya seperti yang kita ketahui raja Alanjung Ahyes hanya menerbitkan satu prasasti yaitu prasasti Banjaran. Mengenai isi dari prasasti ini menurut Soejoni (2010:282) menyatakan
Isinya ialah pemberian anugerah raja Alanjung Ahyes kepada samya haji di Banjaran (raja bawahan) karena telah membantu raja dalam usahanya untuk merebut kerajaan Jenggala. Dikatakan bahwa semula raja bersembunyi di dalam pertapaan di hutan di Desa Marsma Lor. Raja Banjaran, diikuti oleh penduduk Jenggala, datang menghadap kepadanya dengan membawa kendaraan, senjata, dan panji-panji, dan mohon kepada raja agar mau menggantikan duduk diatas tahta kerajaan Jenggala, atau duduk di atas tahkta kerajaan Jenggala, atau merebut kerajaan Jenggala (kumalalilirana kajanggalan). Dengan pasukan ini, raja menyerbu dari Marsma dengan membunyikan genderang yang riuh, dan rupa-rupanya ia berhasil merebut kerajaan Jenggala. Di dalam prasasti ini juga dijumpai kata garudamukha.

d)     Samarotsaha Karnnakesana (1059 M)
Raja ketiga dari kerajaan Jenggala adalah Sri Maharaja Sri Samarotsaha Karnnakesana Ratnasangkha Kirttisingha Jayantaka Tunggadewa, sama seperti raja Alanjung Ahyes selama masa pemerintahannya raja Samarotsaha hanya mengeluarkan sebuah prasasti yaitu prasasti Sumengka tahun 981 Saka (31 Maret 1059 M). Seperti halnya dua raja Jenggala terdahulu, dalam prasasti yang diterbitkan pada masa raja Samarotsaha juga terdapat cap garudamukha yang dibubuhi dengan keterangan jangga[la]lanchanaI, yang memiliki arti tanda dari kerajaan Jenggala, dan dalam prasasti ini raja menyebut dirinya dijadikan anak oleh raja almarhum (pinaka wka de sri maharaja dewata), mungkin yang dimaksud raja almarhum adalah raja Airlangga. Karena berdasarkan situs (http://id.wikipedia.org/wiki/Samarotsaha) menyatakan “prasasti Sumengka tahun 1059, yang berisi penetapan desa Sumengka sebagai perdikan atau sima swatantra karena para pemuka desa tersebut berjasa memperbaiki saluran air peninggalan Resi Aji Paduka Mpungku yang dimakamkan di tirtha atau pemandian”. Berdasarkan prasasti Gandhakuti dan prasasti Pasar Legi, Resi Aji Paduka Mpungku adalah gelar kependetaan dari raja Airlangga.
e)      Jayawarsa (± 1104 M)
Setelah setengah abad tidak ada berita mengenai keadaan kerajaan Kadiri, akhirnya nampaklah raja Kadiri lagi di atas pentas sejarah yaitu raja Jayawarsa yang bergelar Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, namanya diketahui dari prasasti yang dikeluarkannya tahun 1104, selain itu ia menamai dirinya titisan Wisnu, seperti halnya Airlangga  (Soekmono, 1992:57). Mungkin selama setengah abad tersebut terjadi kembali peperangan antara Jenggala dan Kadiri, lalu berhasil dimenangkan oleh Kadiri, hal ini juga menandai berakhirnya kekuasaan Jenggala atas Kadiri.
Asal-usul raja Jayawarsa pun masih menjadi tanda tanya karena dalam prasasti yang dikeluarkannya yaitu prasasti Sirahketing, menurut Soejono (2010:198) mengenai asal usul raja Jayawarsa menyatakan “di dalam prasasti ini Sri Jayawarsa menyebut dirinya cucu anak Sang Apanji Wijayamertawarddhana, yang kemudian bergelar abhiseka sebagai raja Sri Isana Dharmmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa”. Namun hal ini menyebabkan sedikit keganjilan dengan interpretasi dari Soejono di awal yang menyatakan bahwa Sri Samarawijaya adalah putra dari Dharmmawangsa Teguh. Entah mana yang benar, tapi aneh jika raja Samarawijaya adalah putra raja Dharmmawangsa Teguh dan raja Jayawarsa adalah benar keturunannya, mengapa Jayawarsa hanya menyebutkan keturunan dari raja Dharmmawangsa dan tidak menyebutkan bahwa ia anak atau cucu dari raja Samarawijaya. Selain itu ada perbedaan tahun kemunculan nama raja Jayawarsa dalam prasasti Sirahketing dan tempat ditemukannya prasasti, menurut Soejono (2010:294) menyatakan “yang menimbulkan permasalahan ialah munculnya raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu di dalam prasasti dari Desa Sirahketing, Kabupaten Ponorogo yang berangka tahun 1126 Saka (8 November 1204 M)”.
Berbeda dengan pernyataan Pitono dan Dekker (1977:73) yaitu “prasasti yang dapat dihubungkan dengan Jayawarsa adalah prasasti Sirahketing (daerah Madiun angka tahun 926 Saka = 1104 Masehi)”. Ada juga pendapat dari Koeswoyo (2009:107) menyatakan “sejarah kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 Masehi atas nama Sri Jayawarsa”. Selain itu juga pendapat Soekmono yang telah di jelaskan di atas yang juga mengatakan bahwa raja Jayawarsa mengeluarkan prasasti pada 1104 Masehi. Entah mana yang benar dari pernyataan diatas, sama seperti dengan asal-usul raja Samarawjaya, kita tidak akan pernah tahu kebenarannya jika belum ada bukti-bukti dan temuan lagi sebagai bahan untuk memperkuat data.
Selain itu mengenai isi dari prasasti ini dari beberapa buku yang kami dapat juga berbeda, seperti menurut Soejono (2010:295) menyatakan “prasasti dari Sirahketing itu berisi keterangan tentang anugerah raja Jayawarsa kepada seorang atitih yang bernama Marjaya berupa pemberian hak-hak istimewa, karena Marjaya itu tekah memperlihatkan kebaktiannya kepada raja”. Selain itu Koeswoyo (2009:107) menyatakan “peninggalan sejarahnya yang ditemukan adalah Prasasti Sirah Keting tahun 1104 Masehi yang berisi pengesahan Desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau sima swatantra”. Ada juga pernyataan dari Pitono dan Dekker (1977:73) yaitu “prasasti ini tidak mempunyai kepentingan politik. Isinya hanya tentang suatu pemberian hadiah ternak”.
Selain prasasti yang ditinggalkan, pada masa pemerintahannya juga ada hasil karya sastra berupa kakawin Sumanasantaka sekitar 1104 yang dikarang oleh Mpu Monaguna (Darini, 2013:117). Kakawin Sumanasantaka menjadi karya sastra pertama yang diterbitkan pada masa kerajaan Kadiri, mungkin itu yang membuat nama terakhir dari gelar raja Jayawarsa yaitu Sastraprabhu. Namun ada juga kakawin Kresnayana yang diduga dibuat pada masa pemerintahan raja Jayawarsa. Terlepas dari beberapa perbedaan mengenai pemerintahan raja Jayawarsa, banyak pendapat yang mengatakan bahwa raja Jayawarsa adalah raja Kadiri kedua setelah raja Samarawijaya walau tidak diketahui kapan ia naik tahta. Kemudian setelah itu munculah nama raja lain setelah raja Jayawarsa.
f)       Bameswara
Nama Bameswara pertama kali muncul dalam prasastinya yaitu prasasti Padeglan tahun 1038 Saka (11 Januari 1117 M). Jadi dapat disimpulkan bahwa Bameswara adalah raja ketiga Kadiri setelah raja Jayawarsa yang mempunyai nama gelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjayottunggadewa.
Menurut Soejono (2010:286) mengenai isi prasasti Padeglan menyatakan
Di dalam prasasti ini diperingati anugerah raja Bameswara kepada penduduk desa Padeglan sewilayahnya termasuk daerah kalang, kalagan, dan kabanyagan, berupa ketetapan daerah itu sebagai sima swatantra. Adapun sebabnya penduduk desa Padeglan memperoleh anugerah raja ialah karena pada suatu pada hari mereka menghadap raja dengan perantaraan Sang Juru Pangjalu Mapanji Tutusing Rat mohon diberi anugerah sima. Mereka itu memang telah berjasa kepada raja dengan memperlihatkan besarnya kebaktian mereka terhadap raja, mempertaruhkan jiwa raganya agar raja memperoleh kemenangan di dalam peperangan, dan telah berhasil menjadi pasukan pelindung raja.

Mungkin maksud dari sang juru pangjalu itu dapat disimpulkan pada 1117 M kota Daha sudah tidak menjadi bagian wilayah Pangjalu, mungkin ada di daerah Kediri sekarang seperti yang disimpulkan dari tempat penemuan prasasti yang rata-rata berada di daerah Kediri. Keterangan mengenai sebab penduduk desa Padeglan memperoleh anugerah raja menunjukkan belum adanya stabilitas kekuasaan raja Daha (Soejono, 2013:287). Mungkin yang dimaksud bahwa rakyat Padeglan mempertaruhkan jiwa raganya supaya raja dapat memperoleh kemenangan dalam peperangan pada prasasti Padeglan adalah peperangan antara Jenggala dan Kadiri terjadi lagi mengingat Kadiri dan Jenggala seperti musuh bebuyutan yang selalu terjadi peperangan diantara keduanya.
Selain prasasti Padeglan ditemukan pula prasasti lain. Sekitar enam prasasti raja Bameswara yang ditemukan, namun baru dua yang telah diterbitkan, yaitu prasasti Padeglan yang telah kami bahas di atas dan prasasti Panumbangan (I) tahun 1042 Saka (2 Agustus 1120 M).  Isi dari prasasti Panumbangan itu menurut Soejono (2010:287) adalah
Prasasti ini berisi keterangan tentang penduduk desa Panumbangan (sekarang Plumbangan) dengan lima desa yang masuk dalam wilayahnya, yang menghadap raja dan memberitahukan bahwa mereka pernah diberi anugerah prasasti di atas daun lontar (ripta) yang menetapkan daerahnya menjadi sima swatantra oleh raja yang dicandikan di Gajapada. Mereka itu mohon agar prasasti tersebut dipindahkan ke atas batu supaya langgeng anugerah raja almarhum kepada mereka itu. Oleh raja Bameswara permohonan itu dikabulkan, dan raja memberi tambahan anugerah berupa hak-hak istimewa kepada mereka, terutama para kabayan dari lima Desa yang masuk wilayah Panumbangan itu, yaitu kabayan dari Desa Palampitan, Kamburan, Padagangan, Byetan, dan kabayan dari daerah sebelah selatan pasar (Panumbangan?) yang bernama Anurida. Bahkan kabayan dari daerah di sebelah selatan pasar itu mendapat hak istimewa untuk menjabat jabatan kabayan turun-temurun tanpa boleh diselingi orang lain. Di samping itu, ia menerima hak-hak istimewa yang lain lagi dan anugerah sima di Lilawan (?) yang meliputi tanah-tanah sawah pagagan, sungai, rawa-rawa, lembah, dan bukitnya semua.

Dalam prasasti ini tokoh yang dicandikan di Gajapada juga terdapat dalam prasasti Hantang yang diterbitkan oleh raja Jayabaya, mungkin yang dimaksud itu adalah raja Jayawarsa, raja kedua Kediri sebelum raja Bameswara. Selain itu prasasti lainnya namun belum di terbitkan yaitu prasasti Pagiliran yang ditemukan di Desa Jajar, Kabupaten Blitar, dan berangka taun 1042 Saka (23 Juli 1120 M), prasasti Geneng tahun 1050 Saka (30 Juli 1128 M), prasasti dari Candi Tuban tahun 1051 Saka (17 Mei 1129 M), dan prasasti dari Tangkilan tahun 1052 Saka (14 Mei 1130 M).
Sementara itu lambang atau cap kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan raja Bameswara adalah tengkorak yang bertaring, disebut candrakapala.
g)      Jaya Bhaya
Setelah masa pemerintahan raja Bameswara kemudian muncul nama raja berikutnya yaitu Prabu Jayabaya yang memerintah tahun 1135-1157 dengan nama gelar lengkapnya Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Sutrisingha Parakrama Digjayottunggadewanama. Dalam sejarah kerajaan Kadiri, pemerintahan prabu Jayabhya merupakan pemerintahan yang menjadi puncak kejayaan Kadiri. Dalam masa pemerintahannya prabu Jayabhaya menerbitkan tiga buah prasasti yaitu prasasti Hantang tahun 1135 M, prasasti Talan 1136 M, dan prasasti Jepun 1144 Masehi.
Prasasti Hantang merupakan prasasti raja Jayabhaya yang memiliki suatu keistimewaan berupa tulisan menggunakan huruf kuadrat yang besar melintang di tengah cap kerajaan berupa Narasingha yang berbunyi Panjalu Jayati yang dapat diartikan menjadi Panjalu menang. Mengenai isi dari prasasti itu, Soejono (2010:288) menyatakan
Prasasti ini memperingati pemberian anugerah raja Jayabhaya kepada Desa Hantang dan 12  desa yang masuk dalam wilayahnya berupa batu prasasti yang memuat pemberian hak-hak istimewa kepada penduduk Desa Hantang sewilayahnya. Adapun sebabnya ialah pada suatu ketika penduduk Desa Hantang dengan 12 desa yang masuk dalam wilayahnya menghadap raja dengan perantaraan guru raja yaitu Mpungku Naiyayikadarsana dengan permohonan prasasti yang ada pada mereka sebagai anugerah raja yang di-dharmma-kan di Gajapada dan di Nagapuspa yang ditulis di atas daun lontar dipindahkan ke atas batu, dan ditambahi dengan anugerah raja Jayabhaya lainnya.

Permohonan dari penduduk desa tersebut kemudian disetujui oleh raja Jayabhaya dan beliau pun juga memberikan anugerah tambahan berupa macam-macam hak istimewa. Hal ini dilakukan karena mengingat bahwa penduduk desa Hantang dan sekitarnya telah setia memihak raja Jayabhaya dengan menyerahkan cancu tan pamusuh dan cancu ragadaha pada waktu ada usaha memisahkan diri . selain itu yang menarik perhatian dari prasasti ini karena keterangan tentang adanya panuwal, yang dapat diartikan sebagai perang perebutan tahta. Mungkin yang dimaksud perang perebutan tahta adalah perang antara Kadiri dan Jenggala yang memang jika kita ulas lagi ke belakang perang tersebut telah terjadi sejak berdirinya dua kerajaan itu. Sehingga hal ini bisa dihubungkan dengan kata pangjalu jayati pada sisi depan prasasti, yaitu kemenangan Kadiri atas Jenggala sehingga membuat Jenggala berada dibawah kekuasaan Kadiri dan berada di bawah kepemimpinan raja Jayabhaya ini Kadiri dapat dipersatukan dengan kerajaan Jenggala.
Selain itu pada masa pemerintahan raja Jayabhaya ini juga ada prasasti lain yaitu prasasti Talan, menurut Soejono (2010:290) isinya mengenai
Prasasti Talan memuat keterangan bahwa penduduk  Desa Talan yang termasuk wilayah Panumbangan (thani watek panumbangan) menghadap raja dan memperlihatkan prasasti di atas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha  yang telah mereka terima dari Bharata Guru pada tahun 961 Saka (27 Februari 1040 M). Prasasti itu menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban membayar pelbagai macam pajak.mereka itu memohon agar prasasti itu dipindahkan ke atas batu, dan ditambahi anugerah raja Jayabaya sendiri.

Dalam masa pemerintahannya, banyak karya sastra yang diciptakan yaitu kakawin Hariwangsa dan Bharatayudha. Selain itu nama Jayabhaya dalam ingatan masyarakat Jawa dikenal dengan ramalannya yang selalu tepat yang dinamai dengan Jangka Jayabhaya (Ramalan Jayabhaya).
h)     Sarweswara
Setelah raja Jayabhaya turun tahta, beliau pun kemudian digantikan oleh raja Sarweswara yang bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarwweswara Janarddhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewanama. Dalam masa pemerintahannya raja Sarweswara mengeluarkan dua buah prasasti yaitu prasasti Padlegan II tahun 1081 Saka (23 September 1159 M) dan prasasti Kahyunan tahun 1082 Saka (23 Februari 1161 M) yang sampai saat ini belum diterbitkan. Dalam pemerintahan raja Sarweswara tidak diketahui seperti apa cap kerajaannya, namun dalam prasastinya terlihat seperti sesuatu yang bersayap. Pemerintahan raja Sarweswara ini berlangsung selama 10 tahun. Kemudian setelah itu tepatnya pada 1169 M muncul nama raja lainnya.
i)        Aryeswara
Nama raja yang diketahui kemunculannya tahun 1169 M itu adalah raja Aryeswara, dengan nama gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusunawatararijaya Mukha ... Sakalabhuwana [tustikarana] niwaryya Parakramotunggadewanama. Sama seperti raja Sarweswara prasasti pada masa pemerintahan raja Aryeswara ini berjumlah dua buah dan juga belum diterbitkan, yaitu prasasti dari Desa Meleri, Kabupaten Blitar tahun 1091 Saka (3 September 1169 M), dan prasasti Angin tahun 1093 Saka (13 Maret 1771 M). Cap kerajaannya berupa lukisan Ganesha. Pemerintahan Aryeswara ini berlangsung hanya sekitar 10 tahun karena ada sebuah prasasti yang berangka tahun 1181 M yang menyebutkan tentang raja lainnya.
j)       Gandra
Raja yang kemudian muncul dalam prasasti ialah Sri Maharaja dengan gelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuanamakala Parakramanindhita Digjayotunggadewanama Sri Gandra. Satu-satunya prasasti dari raja ini adalah prasasti Jaring tahun 1003 Saka (19 November 1181 M). Keterangan ini tentang penduduk Daerah Jaring karena mereka ingin memohon agar anugerah raja yang telah diberikan dapat dinikmati sepenuhnya. Karena mereka telah mempertaruhkan jiwa raganya untuk memerangi musuh raja, dan permohonan tersebut akhirnya dikabulkan. Untuk pertama kalinya didapatkan nama-nama orang terkemuka yang memakai nama binatang, seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, Lembu Agra, Gajah Kuning, Macan Patih dsb. Diantara pejabat-pejabat tinggi ada jabatan “senopati sarwwajala”, yaitu laksamana. Dari adanya jabatan ini terang, bahwasana Kadiri mempunyai armada laut.
k)     Kameswara
Kemudian kita jumpai nama raja Kameswara dengan gelar lengkapnya Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewanama. Hanya prasasti yang memuat nama raja ini, yaitu prasasti dari Desa Semanding, tahun 1104 Saka (17 Juni 1182 M) dan prasasti Ceker tahun 1102 Saka (11 September 1185 M). Hanya prasasti Ceker yang sudah diterbitkan, itupun tidak dapat dibaca seluruhnya karena keadaan batunya yang telah aus.
Sepanjang maksudnya dapat ditangkap, prasasti ini berisi keterangan bahwa rakyat Desa Ceker sewilayahnya telah menghadap raja, dan memberitahukan bahwa mereka telah memperoleh anugerah dari raja yang memerintah sebelumnya, dan mohon kepada raja agar anugerah itu dikukuhkan dengan prasasti di atas batu. Anugerah itu berupa pemberian hak-hak istimewa dan pembebasan dari kewajiban membayar pelbagai macam pajak.
Sayang sekali justru bagian yang menyebutkan apa jasa-jasa penduduk Desa Ceker itu terhadap raja tidak dapat dibaca seluruhnya. Yang jelas hanyalah bahwa mereka itu telah membuat raja merasa amat berkenan dihati, karena telah dapat kembali ke simanya di bhumi-Kadiri. Namun yang sebenarnya terjadi tidaklah jelas.
Pada masa pemerintahannya karya sastra yang dibuat adalah kakawin Samaradhana dan Cerita Panji. Untuk cerita panji ini mengkisahkan kisah cinta antara raja Kameswara sendiri dengan Dewi Kirana putri kerajaan Jenggala, hal ini semakin mempererat tali persaudaraan Jenggala dengan Kadiri. Namun dalam cerita panji diubah bahwa raja Kameswara berasal dari Jenggala dan Dewi Kirana berasal dari Kadiri.
l)        Kertajaya
Raja Daha yang terakhir ialah Srengga atau Kertajaya, dengan gelar lengkapnya Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Srenggalanchana Digjayotunggadewanama. Ada enam prasasti dari raja ini ditemukan. Tetapi yang tertua adalah prasasti dari Desa Kemulan (Kabupaten Trenggalek) tahun 1116 Saka (31 Agustus 1194 M).
Prasasti terakhir raja Srengga yang diketahui ialah prasasti Lawadan tahun 1127 Saka (18 November 1205 M). Para sarjana berpendapat bahwa Srengga atau Kertajaya ini adalah raja Daha terkhir yang telah dikalahkan oleh Ken Angrok pada tahun 1222 M. Kalau benar tentang pendapat ini, selama 17 tahun tidak mengeluarkan prasast. Namun ada juga prasasti yang di buat dari tahun 1205 sampai 1222 M, prasasti ini belum ditemukan
Sayang sekali bahwa diantara enam prasasti yang ditemukan itu tidak satu pun yang dapat dibaca seluruhnya karena batunya telah usang. Hanya prasasti yang berada pada Desa Kemulan itu yang agak lumayan keadaannya seperti pada keterangan di atas.
Prasasti yang juga amat penting ialah prasasti yang sampai kini masih ada di tempat aslinya, yaitu di halaman percandian Panataran di Blitar. Prasasti Palah ini berangka tahun 1119 Saka (23 atau 27 Juni 1197 M). Sayang sekali batunuya sangat usang sehingga tidak dapat diberikan pembacaan yang lengkap. Apa yang perlu dicatat di sini ialah keterangan bahwa raja mengadakan pemujaan untuk Bhatara di Palah setiap hari. Rupa-rupanya Candi Penataran itu dulunya bernama Palah, atau terletak di Desa Palah.
Dua prasasti yang lain, sekalipun sudah diterbitkan, juga tidak banyak menambah keterangan tentang masa peerintahan raja Srengga atau Kertajaya ini, karena keadaan prasastinya yang sudah usang, sehingga tidak dapat dibaca dengan memuaskan. Kedua prasasti itu ialah prasasti Biri tahun 1124 Saka (29 Agustus 1202 M) dan prasasti Lawadan tahun 1127 Saka (18 November 1205 M). Yang terungkap hanyalah bahwa pemduduk Desa Biri dan penduduk Desa Lawadan sewilayahnya telah menerima anugerah raja, berupa pembebasan dari pelbagai pungutan pajak dan penerimaan pelbagai hak istimewa.
Yang menimbulkan permasalahan ialah munculnya raja Sri Jayawangsa Digjaya Sastraprabhu di dalam prasasti dari Desa Sirahketing, Kabupaten Ponorogo, yang berangka tahun 1126 Saka (8 November 1204 M). Sebuah prasasti yang lain dari raja ini ditemukan di Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Ponorogo, tidak jauh dari Desa Sirangketing. Prasasti ini berangka tahun 1182 Saka (1180 M). Seperti telah disbutkam, raja Jayawangsa atau Jayaprabu ini menyebut dirinya cucu atau keturunan dari anak Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa.

3.      Keadaan Masyarakat
a.      Struktur pemerintahan
Masa perkembangan pemerintahan kerajaan Kadiri kira-kira satu abad. Dalam waktu yang singkat ini pemarintahan kerajaan Kairi tidak banyak berubah. Hal ini dibuktikan dari prasasti-prasasti masa Kadiri yang masih menyeut jabatan- jabatan yang sudahdikenal pada periode sebelumnya, mislnya rakyan mahamatri I hino sebagai “orang kedua” sesudah raja, mungkin yang dimaksud adalah putra atau putri mahkota. Namun, ada pula keterangan baru, yaitu menyebutkan panglima angkatan (senapati sarwwajala) dalam prasasti Jaring
Suatu hal yang perlu dicatat adalah adanya aspek demokrasi dalam pemerintahan Kadiri. Permohonan terhadap raja tersebut harus dismpaikan melalui pejabat terlebih dahulu. Pada umumnya permohonan ini dikabilkan karena rakyat yang telah memohon tersebut pernah berjaasa atau menunjukkan kesetiaan terhaap raja. Ternyata pada masa kerajaan Kadiri samya haji atau penguasa daerah mempunyai peran penting. Samya Hji pernah membantu raja dalam mempertahankan kekuasaanya saat, raja Janggala merebut kekuasaan Kadiri
b.      Agama
Corak agama Kadiri dapat disimpukan dari peninggalan archeologinya  yang ditemukan di wilayah Kadiri. Candi Garuh dan Candi Tondowongso menunjukkan latar belakang agama Hindu, khususnya Siwa, berdsarkan jenis Arcanya
Bedasarkan prasasti menyebut nama abhiseka raja yang berarti penjelmaan Wisnu (misalnya Sri Sarwweswara Triwikramataranindita). Karena landasan filosofis yang dikenal di Jawa pada  masa itu selalu menganggap raja sama dengan dewa Wisnu dalam hal dalam pelindung rakyat dan dunia atau kerajaa nya
c.       Kesenian
Pembahasan bidang kesenian pada kerajaan Kadiri hanya dibatasi aesitektur saja. Karena kerajaan Kadiri lebih mementingkan seni  Arsitektur pasa setiap Candi yang ditemukan. Misalnya pada candi Gurah yang masih tersisa di sisi genta pada kaki candi perwara dan candi induknya mempunyai makna pada ujung bawah tangga. Ciri-ciri ini menunjukkan gaya seni Jawa Tengah (abad VII-X M), tetapi karena keindahannya ada yang mengatakan bahwa candi tersebut berasal dari Singasari (abad XIII M).
d.      Kesusastraan
Masa Kadiri disebut sebagai zaman keemasan Jawa kuno, karena pada masa ini dihasilkan karya-karya sastra, teutama dalam bentuk kekawin, yang sangat penting dan bermutu tinggi. Dari masa Kadiri kita kenal beberapa orang pujangga terkenal pada masanya  yang juga menciptakan karya  sastra yang juga terkenal. Adapun karya-karya sastra pada masa Kadiri yaitu
1)      Kakawin Kresnayana
Kakawin ini sebenarnya tidak diketahui pasti kapan dibuatnya, namun diduga dibuat pada masa pemerintahan raja Jayawarsa. Cerita Kresna ini menjadi salahsatu cerita yang digemari karena bernuansa tentang cinta. Cerita ini juga dimuat sebagai relief pada candi di Jawa Timur, candi yang terdapat relief dengan cerita ini misalnya candi Penataran dan candi Tegawangi.
Kakawin Kresnayana ini bercerita tentang kisah percintaan antara Kresna dan Rukmini, putri raja Bhismaka dari kerajaan Kumbhina. Namun sayangnya Rukmini telah dipinang oleh raja Suniti dari Cedi,tapi dewi Rukmini tidak mau. Sehingga terjadilah pertempuran antara Kresna dan raja Suniti yang dimenangkan oleh Kresna. Akhirnya Kresna pun dapat bersatu dengan Dewi Rukmini dan mereka hidup berbahagi di kerajaan Kresna, Dharwati.
2)      Kakawin Sumanasantaka
Kitab ini merupakan hasil karya Mpu Monaguna atas perintah raja Jayawarsa dari kerajaan Kadiri tahun 1104 M, mengisahkan tentang kelahiran Dasarata di Ayodya. Diawali dengan digodanya Begawan Trenawindu yang tengah bertapa oleh bidadari Harini karena perinta dewa Indra. Sehingga membuat Harini terkena serapah dari Trenawindu dan menjelma menjadi putri Indumati, dari kerajaan Widarba. Ketika itu di kerajaan Widarba sedang diselenggarakan sayembara untuk menjadi suami putri Indumati dan pemenangnya adalah Sang Aja Putra Prabu Ragu. Setelah dipersunting oleh Sang Aja, Indumati melahirkan Desarata. Ketika saatnya ia kembali ke kahyangan, Dewa Narada melemparnya dengan bunga dan matilah Dewi Indumati. Sang Aja juga meninggal setelh bertapa di tempuran sungai Serayu dan Sungan Gangga, dan keduanya dapat berkumpul kembali di Swargloka.
3)      Kakawin Bharatayuddha
Kakawin Bhratayuddha merupakan karya sastra masa kerajaan Kadiri yang sangat terkenal hingga saat ini, kakawin ini dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan raja Jayabhaya. Kakawin ini terilhami dari peperangan antara dua saudara yaitu kerajaan Kadiri dan  Jenggala. Kakawin ini mengisahkan peperangan antara Pandawa dan Kurwa di medan Kurusetra. Bagian awal hingga Prabu Salya berangkat ke medan Kurusetra dikarang oleh Mpu Sedah dan bagian selanjutnya hingga akhir digubah oleh Mpu Panuluh.
4)      Kakawin Hariwangsa
Kakawin ini digubah pada zaman Kadiri masa pemerintahan raja Jayabhaya. Kakawin ini isinya hamper sama dengan kakawin Kresnyana yaitu sama-sama menceritakan kisah cinta atau tentang pernikahan antara Kresna dan Rukmini putri raja Bismaka dari kerajaan Kumbhina.
5)      Kakawin Smaradahana
Merupakan gubahan Mpu Darmaja pada jaman Kediri pada pemerintahan Raja Kameswara (1115-1130). Kakawin ini menceritakan tentang Deewa Siwa yang sedang bertapa dibangunkan oleh kamanjaya karena keindraan terancam oleh raja raksasa Nilarudraka. Untuk membangunkannya Kamanjaya menggunakan panah pancawisaya sehingga Siwa langsung merasa rindu kepada Dwi Uma Istrinyadan segera kembali ke kayangan. Siwa marah mengetahui bahwa yang menggodanya adalah Kamanjaya sehingga dari mata ke tiganya keluar kobaran api yang membakar Kamanjaya. Dewi Ratih ikut menyusul terjun kedalam api mengikuti suaminya. Para Dewa meredakan kemarahan Siwa. Siwa memaafkannya tetapi memerintahkan agar Kamanjaya bersemayam di hati kaum pria dan dewi ratih bersemayam di dalam hati wanita agar dunia tidak punah.
Di kayhangan dewa Siwa bercinta kasih dengan dewi uma. Permaisurinya tersebut kemudian mengandung dan melahirkan seorang putra berkepala gajah yang dinamai Ganesha. Ketika Nilarudraka menyerbu kayhangan mereka dapat dikalahkan oleh Ganesha.
6)      Kakawin Bomankawya
Kakawin ini tidak diketahui pengarangnya, diperkirakan sejaman dengan kakawin Smaradahana. Kakawin ini menceritakan peperangan antara Kresna dengan sang Boma. Sang Samba putra Kresna mendambakan  Putri Jatnyawanti. Atas petunjuk bidadari Tilotama sang samba mengetahui bahwa  Jadnyawati telah menitis kepada putri raja Utaranagara. Samba berhasil menemui Jadnyawanti, tapi tiba-tiba kerajaan diserbu Raja Boma dengan pasukan raksasa. Ayah dan ibu Jadnyawanti meninggal dan Jadnyawanti diculik oleh raja Boma. Samba menjadi sakit ingatan. Kresna sedih melihat penderitaan putranya. Boma ditantang tanding dan dapat dikalahkan. Akhirnya Samba dapat bertemu dengan Jadnyawanti.
7)      Kakawin Gatutkacasraya
Merupakan karya Mpu Panulu pada zaman Kediri pada masa pemerintahan Prabu Kertajaya sekitar 1188. Bercerita mengenai perkawinan Abimayu dengan Siti Sundari, putri Prabu Kresna. Berkat pengorbanan dan bantuan Gatotkaca semua rintangan menuju perkawinan dapat dihadapi.
8)      Wretta Sancaya/Cakrawaka Duta
Wretta Sancaya merupakan karya sastra gubahan dari Mpu Tanukung dan karya sastra ini diperkirkan dibuat zaman Kadiri. Merupakan karya pengetahuan tentang matra kakawin India yang banyak dipinjam dalam kasusatraan Jawa Kuno tetapi diberi bentuk cerita romantis tentang seorang gadisyang ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu pun akhirnya meminta bantuan kepada burung cakrawaka atau meliwis untuk mencarikan kekasihnya.
9)      Lubdhaka
Kitab ini juga merupakan karya dari Mpu Tanukung yang mengisahkan tentang seorang pemburu yang pada suatu malam secara tidak sengaja menaburkan daun maja (wilwa) di atas lingga dewa Siwa yang ada di bawah pohon maja. Sebagai tanda terima kasih Dewa Siwa mengizinkan pemburu itu masuk ke dalam taman surga. Cerita Lubdhaka adalah saduran mitologi India yang bertalian dengan upacara keagamaan siwaratri.

C.    Runtuhnya Kerajaan Kadiri
Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Kadiri Kertajaya adalah raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyatnya, ia dikenal dengan catur marganya yang memiliki arti empat jalan yaitu darma, arta, kama, dan moksa. Namun pemerintahannya berkahir ketika Kertajaya berselisih dengan para Brahmana karena ia meminta para Brahmana untuk menyembahnya sebagai dewa. Kemudian para Brahmana meminta perlindungan ke Singhasari yang merupakan kerajaan bawahan Kadiri. Melihat kesempatan itu, Ken Angrok yang merupakan raja Tumapel saat itu berniat untuk melepaskan diri dari Kadiri, sehingga segera melakukan penyerangan terhadap Kadiri. Mengenai kejadian ini, Soejono (2010:298) menyatakan
Tentara Daha dipimpin adik Dandang Gendis, Maharaja Walungan. Pertempuran terjadi di sebelah utara Genter; tentara Daha terdesak dan Maharaja Walungan gugur dalam pertempuran, bersama dengan menterinya yang bernama Gubang Baleman. Raja Dandang Gendis mengundurkan diri dari pertempuran, lalu kembali ke alam dewa-dewa bersama segenap pengikutnya. Demikian pula dengan adik-adik raja tiga orang yang semuanya perempuan ikut kembali ke alam dewa-dewa dan lenyap bersama istananya.

Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, dan menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari.


D.    Bangkitnya Kerajaan Kadiri oleh Keturunannya
Setelah keruntuhan Kadiri akibat diserang oleh Ken Angrok dari Tumapel, Kerajaan Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Saat itu, Ken Angrok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Pada tahun 1258, Jayasabha digantikan oleh putranya yang bernama Sastrajaya. Kemudian, Jayakatwang yang merupakan putra Sastrajaya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai bupati Kadiri pada tahun 1271. Saat itu, dendamnya terhadap Singhasari muncul karena leluhurnya dikalahkan oleh Ken Angrok. Jayakatwang pun segera melakukan penyerangan setelah mendapatkan surat dari ayahnya yang disampaikan oleh Aria Wiraraja, mantan pejabat Singhasari yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanegara, isi dari surat tersebut adalah anjuran agar Jayakatwang segera melakukan pemberontakkan karena saaat itu Singhasari dalam ke adaan kosong ditinggal sebagian besar pasukannya ke Malayu.
Serangan Jayakatwang dilancarkan antara pertangahan bulan Mei dan bulan Juni 1292. Prasasti Kudadu yang berangka tahun saka 1216 (11 September 1294 M) maupun kitab Pararaton membayangkan bahwa pasukan Kadiri dibagi menjadi dua. Pasukan yang menyerang dari utara rupa-rupanya hanya untuk menarik pasukan Singhasari dari keraton. Siasat itu berhasil. Setelah pasukan Singhasari dibawah pimpinan Wijaya dan Arddharaja menyerbu ke utara dan  mengejar musuh yang bergerak mundur, pasukan Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke keraton, dan dapat membunuh raja Kertanegara yang menurut kitab Pararaton sedang bermabuk-mabukkan. Sumber lain menyebutkan bahwa raja Kertanegara meninggal bersama para brahmana, jadi rupa-rupanya raja sedang melukan upacara keagamaan. Dengan gugurnya raja Kertanegara pada tahun 1292 M, seluruh kerajaanSinghasari dikuasai oleh Jayakatwang.

Menurut prasasti Kudadu, Arddharaja adalah putra Jayakatwang yang tinggal di Singhasari bersama istrinya, ikut serta dalam pasukan Raden Wijaya. Tentu saja ia berada dalam posisi yang sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Namun ketika mengetahui kekalahan Singhasari, ia berbalik meninggalkan Singhasari dan memilih bergabung dengan pasukan Jayakatwang. Setelah mendapatkan kemengan itu, Jayakatwang membangun kerajaan Kadiri kembali.


E.     Masa Akhir Kerajaan Kadiri di Nusantara
Seperti yang telah kita ketahui di atas, bahwa Jayakatwang keturunan dari raja Kertajaya dapat merebut Kadiri dari bawah kekuasaan kerajaan Singhasari, ia pun kemudian mendirikan lagi kerajaan itu. Namun tanpa sepengetahuan Jayakatwang, ketika peperangan tersebut Raden Wijaya, menantu dari raja Kertanegara dengan bantuan dari kepala desa Kudadu berhasil melarikan diri ke Sumenep untuk menemui Arya Wiraraja. Arya Wiraraja yang sebelumnya memihak Jayakatwang ini, akhirnya berkhianat dengan membela Raden Wijaya karena dijanjikan jika mereka berhasil daerah kekuasaannya itu akan dibagi dua. Kemudian Raden Wijaya dan Arya Wiraraja merencanakan siasat untuk merebut kembali tahta dari tangan Jayakatwang. Mula-mula Wiraraja menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya yaitu, Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati tanpa sedikit ada curiga, ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Kemudian untuk menjalankan rencananya, Wijaya meminta daerah Hutan TAriik di sebelah Timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mangaku ingin bermukim disana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang sumenep untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah Maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu desa pemukiman yang di dirikan Wijaya tersebut diberi nama Majapahit. Majapahit itu pun menjadi sahya haji dibawah kekuasaan raja Jayakatwang.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa sebelumnya raja Kertanegara telah menghina utusan dari Mongol, sehingga membuat pasukan Mongol datang kembali untuk menyerang Singhasari, namun tanpa sepengetahuan mereka Singhasari telah runtuh karena serangan Jayakatwang. Hal ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk merebut kembali kekuasaan dengan meminta bantuan raja Tartar agar tentaranya dapat membantu Wijaya, namun dengan imbalan putri Tumapel Tribhuwaneswari dan Gayatri sebagai hadiah.
Dengan dibantu pasukan dari raja Tartar akhirnya Raden Wijaya pun berhasil mengalahkan Jayakatwang karena Jayakatwang menyerah pada sore harinya dan ditawan di atas kapal Mongol. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang, Wijaya pun berhasil mengusir paasukan mongol dari Jawa. Kemudian ia pun mendirikan kerajaan Majapahit, hal ini menandai berakhirnya masa kerajaan Kadiri sebagai kerajaan besar di Nusantara, karena setelah Majapahit berakhirlah masa Kerajaan Kuno di Nusantara yang digantikan dengan masa kerajaan Islam.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Airlangga membagi kerajaan Mataram Kuno menjadi dua, yaitu, Janggala yang beribukota di Kahuripan dan Pangjalu dengan ibu kota Daha.
2.      Perkembangan tentang kerajaan Kadiri dapat ditemukan dalam prasasti, berita Cina, dan penemuan arkeologi. Sementara itu dalam masanya mencapai puncak kejayaan pada masa raja Jayabhaya. Kerajaan Kadiri sangat terkenal dengan karya sastranya.
3.      Awal keruntuhan kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan Kertajaya bermula dari adanya serangan dari Singhasari yang menyebabkan Kadiri menjadi Negara bawahan Singhasari. Kemudian Ken Angrok mengangkat Jayasabha yang merupakan keturunan Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Hal itu menyebabkan Jayakatwang yang merupakan cucu dari Jayasabha melakukan pemberontakan dengan menyerang dan mampu menakhlukkan Singhasari yang tengah diperintah oleh Kertanegara.
4.      Kadiri bangkit kembali setalah menakhlukkan Singhasari, Jayakatwang memerintah kerajaan Kadiri namun hanya bertahan selama satu tahun. Singhasari membalaskan dendam nenek moyangnya dengan menyerang Kadiri, serangan tersebut merupakan masa akhir dari kerajaan Kadiri.


B.     Saran
Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Kuno, disamping itu kami juga berharap agar pembaca dapat memahami akan kerajaan Kadiri sejak awal berdirinya hingga masa akhir kejayaannya. Selain itu, juga agar pembaca dapat mengetahui dan mampu melestarikan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Kadiri.








DAFTAR RUJUKAN

Darini, R. 2013. Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu-Budha. Yogyakarta: Ombak.
Dawan, Lanang. 2010. Kerajaan Kadiri, (Online), (http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/kerajaan-kadiri.html), diakses 20 November 2013.
Koeswoyo, Endik. 2009. Kisah Raja-Raja Legendaris Nusantara. Jogjakarta:Garailmu.
Pitono, R. & Dekker Nyoman. 1977. Sejarah Indonesia. Malang:Utama.
Soejono. 2010. Sejarah Nasional Indonesia 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekamto, G.M. & Pudjiastuti, A. 1997. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekmono.1992. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yoyakarta: Kanisius.
Wikipedia.com. Tanpa Tahun. Mapanji Garasakan, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Mapanji_Garasakan), diakses 20 November 2013.
_____________. Tanpa Tahun. Samarotsaha, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Samarotsaha), diakses 20 November 2013.